Ekalawya dan Demokratisasi Inovasi

Disclaimer: ini adalah isi pikiran pribadi saya, tidak terkait dengan data ataupun sumber informasi apapun.

Gambar terkait

Ekalawya merupakan salah satu tokoh di dalam epos Mahabaratha. Ekalawya bukanlah tokoh utama yang mendapat sorotan utama dalam epos ini, namun kehadiran Ekalawya dalam epos Mahabaratha memberikan suatu nilai kehidupan tersendiri yang tak kalah pentingnya dengan nilai-nilai baik-buruk sifat manusia yang secara gamblang sudah tergambarkan dari tokoh-tokoh utama.

Ekalawya dikisahkan merupakan seorang anak dengan asal usul yang tidak jelas namun memiliki keinginan untuk belajar memanah yang tinggi. Namun sayang, Mahaguru Drona menolaknya untuk mengangkatnya sebagai murid karena status asal usulnya. Singkat cerita Ekalawya yang memegang teguh sifat kepatuhan tidak bisa memaksa. Namun di lain sisi karena kenginannya yang tinggi Ekalawya tetap belajar secara mandiri di hutan dengan ditemani patung Mahaguru Drona yang dibuatnya. Akhirnya Ekalawya menjadi sangat mahir dan setara dengan Arjuna yang merupakan keturunan dewa dan dibimbing langsung oleh Mahaguru Drona.

Namun sayang, ketika terjadi perang tanding dengan Arjuna akibat Arjuna yang tertarik dengan istri Ekalawya, Mahaguru Drona meminta jempol Ekalawya sebagai wujud sembah bakti kepada dirinya karena patungnya secara simbolis sudah menemani Ekalawya ketika berlatih. Ekalawya pun akhirnya mengorbankan jempolnya yang akhirnya juga membuatnya gugur kalah perang tanding dengan Arjuna.

Dari cuplikan cerita diatas tergambar bahwa terjadi diskriminasi akses ilmu pengetahuan dimana yang boleh mendapat pendidikan dari para mahaguru haruslah orang dengan status yang jelas (Finansial, kelas/kasta, keturunan, dll). Sedangkan orang yang tidak masuk dalam definisi status yang jelas tersebut dianggap tidak layak untuk memperoleh ilmu karena dianggap terlalu jumawa dan tidak sadar terhadap kondisi statusnya.

Apakah hal ini terjadi saat ini? jawabannya bisa ya , bisa tidak. Pemerintah saat ini, tak hanya di Indonesia namun juga di dunia sudah memberikan ruang belajar sebesar – besarnya untuk setidaknya pendidikan dasar wajib, bahkan hingga perguruan tinggi bagi para warganya melalui beasiswa untuk warga tidak mampu.

Namun sebenarnya dengan pola kebijakan pemerintah tersebut baru menyelesaikan permasalahan mendasar yaitu mempersiapkan warga yang memiliki kemampuan dasar yang cukup sehingga pada usia produktif mampu bekerja sehingga nantinya roda perekonomian dapat berjalan.

Bagaimana dengan ruang untuk inovasi? hal inilah yang masih menjadi perwujudan mahaguru Drona modern dalam bentuk suatu sistem akademik dan regulasi. Sekolah sebagai tempat belajar masih jauh mengapresiasi murid dengan nilai ujian nasional yang tinggi dibandingkan dengan murid yang sibuk dengan pengembangan karya ilmiah. Begitu juga perguruan tinggi, segala fasilitas dan sumber daya yang ada termasuk para dosen berfokus pada penelitian yang dilakukan oleh internal (dan mungkin juga didominasi kalangan tertentu), dan juga penelitian-penelitian yang bersifat komersial.

Kondisi serupa juga terjadi pada lembaga riset nasional. Sebagian besar hibah penelitian diberikan untuk entitas di lembaga pendidikan yang dalam jangka waktu panjang membentuk eksklusifitas dan monopoli dana oleh para kaum “peneliti resmi”. Badan usaha milik negara juga mengalami permasalahan yang lebih pelik dalam pengambangan inovasi dimana batasan antara riset dan tuduhan penyelewengan dana hanya setipis tisu. Kegagalan dalam pengembangan dapat dianggap suatu aktivitas yang merugikan negara dan berpotensi berlanjut hingga ranah hukum.

Hal ini membuat cerita mengenai kondisi pendidikan jaman dahulu kala dan saat ini secara konteks masih belum jauh berubah dimana eksklusifitas masih menjadi isu walaupun dalam wujud yang berbeda. Pemerintahpun terjebak dengan sistemnya sendiri yang membuat riset berubah dari padang rumput subur yang penuh harapan menjadi ladang ranjau yang siap meledak.

Lalu bagaimana cara membuat agar tidak ada Ekalawya lainnya? salah satu caranya adalah membangun fasilitas riset dan pengembangan yang dapat menampung para inovator yang ingin melakukan pengembangan terhadap ide-idenya namun terkendala fasilitas, mentor, dan juga komunitas. Sehingga tidak ada batasan tentang status akademik ataupun pertanggung jawaban administrasi yang lebih rumit daripada proses riset itu sendiri. Lalu dari mana sumber dananya? tentunya harus datang secara mandiri dari para pihak yang berpikiran sama bahwa sudah saatnya para inovator dengan semangat tinggi diberi wadah untuk berkreasi.

Sudah saatnya riset dan inovasi menjadi ujung tombak perkembangan bangsa dan umat manusia. Tak hanya dari sudut pandang perkembangan roda ekonomi, namun juga lebih luas lagi untuk kehidupan yang lebih baik dari seluruh manusia. Para inovator harus mendapat ruang seluas-luasnya untuk berkreasi sehingga ketika semakin banyak inovasi yang muncul semakin banyak potensi munculnya produk inovasi yang memiliki dampak positif bagi umat manusia.

 

-not yet finished-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <strike> <strong>